GAJ - AHMADA
Oleh: Langit Kresna Hariadi
Oleh: Langit Kresna Hariadi
Tiba-tiba muncul polemik soal Gajahmada
melalui tafsir baru yang dilakukan oleh Herman Sinung Janutama yang menulis
“Kesultanan Majapahit, Fakta yang Tersumbunyi” diterbitkan oleh LJKP Pengurus
daerah Muhammadiyah Yogyakarta, edisi terbatas yang diterbitkan dalam rangka
Muktamar 1 abad Muhammadiyah Juli 2010, yang kemudian kini menjadi trending
topik setelah seseorang mengkoreksi nama Gajahmada sebagai nama yang salah, dan
mengklaim yang benar adalah Gaj Ahmada, nama Arab.
Saya punya pengalaman aneh tahun 2012 (atau
mungkin 2013) ketika untuk pertama kali Samana Foundation menggelar hajatan
temu akbar para pendekar sastra sejarah di kaki Candi Borobudur Magelang.
Seorang sastrawan, saya sebut namanya Damar Sasongko yang bukunya sedang
dibedah namun Damar Sasongko tidak hadir dan diwakili editornya.
Damar dicaci banyak orang karena menulis ada Raja
Majapahit keturunan Cina bernama Nyoo Lai Wa. Para sastrawan atau yang saat itu
amat bangga menyebut dirinya sebagai novelis sejarah seperti tersundut
pantatnya, mereka marah karena Damar Sasongko berani-beraninya menulis ada Raja
Majapahit keturunan Cina, caci maki yang saya cermati saya nilai kebablasan,
seolah Damar Sasongko adalah seorang penjahat. Saya tahu, Damar Sasongko
menggunakan data dari klenteng Sam Poo Kong sebagai sumber datanya.
Langsung saat itu saya mengacungkan jari minta
waktu berbicara dan melawan arus, pendapat saya menyebabkan suasana yang sudah
panas makin mendidih. Saya bilang pada para pendekar sastra sejarah itu, bahwa
Damar Sasongko tak salah. Ia hanya seorang novelis, ia bukan sejarawan. Para
historiografer bekerja berdasar fakta, tidak mengada-adakan selain berdasar
data yang ada. Sangat berbeda dengan novelis, yang bekerja menggunakan daya
khayalnya, imajinasi, yang dalam perilakunya - maaf- malah sok lebih pintar
dari sejarawan. Saya lugas mengatakan ketika itu, “kalau saya menulis Gajahmada
kawin dengan Luna Maya, anda mau apa?”
Berawal dari peristiwa di Magelang itulah
kemudian saya merasa tidak berhak disebut novelis sejarah. Saya hanya pegiat
sastra berbahan baku sejarah dengan hasil berbentuk BUKU novel bercitarasa
sejarah, namun bukan BUKU SEJARAH.
Sejarawan/arkeolog, bekerja menggunakan azas
ilmiah. Sebuah temuan harus dikaji, diteliti dari banyak sudut, dibedah
diiris-iris untuk menemukan kebenaran yang paling dekat dan masuk akal.
Seseorang disebut Gajahmada setidaknya didukung oleh data-data primer,
sekunder. Tidak boleh ia disebut Gajahmada karena menurut kata dukun. Tak boleh
Sang Mahamantrimukya Rakrian Mapatih Mpu Mada disebut berperawakan gempal hanya
karena kata Mr Muh Yamin.
Ketika menjadi pembicara di Pendapa Kabupaten
Mojokerto beberapa tahun yang lalu saya menemukan perdebatan riuh sampai
bentak-bentakan soal bagaimana bentuk tubuh Gajahmada karena masing-masing
merasa dukun merekalah yang benar. Di Puri Saron Seminyak Denpasar seorang
perempuan yang menguasai spiritual memberitahu para tamu yang hadir, bahwa
pemuda gemuk yang datang dengannya dan mengenakan pakaian aneh sebagai titisan
Gajahmada. Saya nyaris semaput karena melihat jejak imbisiil di wajah pemuda
yang dibawanya itu. Walah.
Dalam ilmu sejarah tidak boleh cara macam itu
digunakan. Mr Muh Yakin berdosa besar telah mengajukan karakter Gajahmada yang
berwajah tembem itu sebagai Gajahmada, sampai-sampai sebuah institusi
menggunakan wajah itu sebagai logo resmi. Lha bagaimana Gajahmada bisa
dikarakterkan kalau zaman itu belum ada kamera, belum ada video, atau pelukis
realisme. Menggunakan ilmu sejarah pula tidak boleh kita menerima wajah
imbisiil di seminar Puri Saron Seminyak itu sebagai sebuah kebenaran. Lalu
bagaimana wajahnya yang benar? Terserah anda. Anda boleh membuatnya ceking,
anda juga boleh beranggapan seperti apa kata Muh Yamin.
Sesuatu bisa disebut sebagai sebuah kepastian
bila ada bukti. Gajahmada berasal dari mana? Tidak bisa diklaim karena belum
pernah ditemukan sebuah prasasti yang secara sahih menyebut berasal dari Desa
Modo di Lamongan. Suka tidak suka sikap kita memang harus begitu. Walaupun
Viddy Daery menulis “Gajahmada Islam” tetaplah harus dilihat hanya sebagai
wacana, hanya itu. Gajahmada beragama apa? Tidak bisa diklaim. Yang bisa kita
lakukan hanya mengira-ngira sambil mengotak-atik fakta.
Untuk memastikan Gajahmada itu beragama apa,
cari prasastinya yang memastikan fakta itu berbobot A1, atau, kalau anda wafat,
silahkan temui Gajahmada di alam kematian, tanyakan langsung padanya.
Kelahirannya di mana, tidak ada datanya.
Demikian juga dengan Gajahmada kawin dengan siapa, suka tidak suka juga tidak
ada datanya. Kalau benar Gajahmada tidak kawin, ya sudah, cukuplah sampai di
situ, silahkan anda berimajinasi sendiri mengapa Gajahmada tidak kawin, apakah
ia patah hati, apakah homo, apakah gara-gara alat kelaminnya terpotong oleh
pisau yang bersembunyi di balik celana emas badong, semuanya sah.
Gajahmada kawin dengan siapa baru bisa disebut ketika
ditemukan bukti prasasti, lagi-lagi jangan tanya dukun, lagi-lagi gunakan
pendekatan ilmiah. Kidung Sunda ada menyebut, Gajahmada beristeri Ken Bebed,
itu belum menjadi bukti yang valid sebagaimana kita sepakat, Kidung Sunda bukan
sumber primer.
Ada yang mengatakan Gajahmada dimakamkan di
Madagaskar, ada yang mengatakan Gajahmada dhut di Bali, ada yang mengatakan di
Lombok. Ketika kelahiran dan perkawinan minim data, setidaknya Desawernana
menyebut Hayam Wuruk sedang berada di Simping saat dikabari Gajahmada jatuh
sakit, Hayam Wuruk kemudian memutuskan pulang.
Dari data Desa Wernana itu kita bisa membayangkan,
Gajahmada berada di kotaraja, atau di rumahnya, atau di radius tidak terlampau
jauh dari Kotaraja, tidak di Bali, tidak di Lombok, tidak di Madagaskar. Sebuah
gundukan tanah atau tumpukan batu tidak bisa disebut sebagai makam Gajahmada
hanya gara-gara saya tidur di sebelahnya dan mendapatkan petunjuk mimpi. Cara
pandang ilmiah tidak seperti itu.
Sekarang muncul dugaan, Majapahit itu kesultanan.
Sekarang muncul dugaan, Majapahit itu kesultanan.
Cara pandang ini sah, boleh, akan tetapi harus
diuji sedemikian rupa untuk mendapat jawabnya. Bahwa karena yang menyampaikan
adalah Herman Sinung Janutama lantas harus diterima sebagai sebuah kebenaran,
belum tentu. Herman Sinung Janutama itu siapa? Apakah ia arkeolog dan memahami
bagaimana cara kerja arkeolog.
Mari kita pertanyakan, Majapahit yang dimaksud
Herman Sinung itu Majapahit yang mana, era siapa, zaman kapan? Saya teringat ketika
saya begitu bersemangat ketika bersama-sama DR Luluk Sumiarso mantan Dirjen
Energi Baru dan terbarukan, Dahlan Iskan (ketika itu baru ganti hati) dan
beberapa Prof dari Airlangga, begitu bersemangat ketika menggagas membuat
miniatur istana di Trowulan. Gagasan penuh semangat itu langsung kandas ketika
orang-orang Musium bertanya, yang mau dibangun itu istana zaman siapa?
Pertanyaan itu sama dengan Kasultanan
Majapahit itu zaman siapa?
Majapahit ada banyak jejak. Majapahit Raden Wijaya diperkirakan diapit Sungai Brantas dan Sungai Mas, Majapahit itukah yang dimaksud Sdr Herman Sinung Janutama? Kita kemudian juga mencatat, Majapahit berada di Situs Trowulan yang diduga Hayam Wuruk bertakhta di sana. Zaman istana Tatag Rambat Bale Manguntur itukah yang disebut sebagai Kasultanan Majapahit?
Majapahit ada banyak jejak. Majapahit Raden Wijaya diperkirakan diapit Sungai Brantas dan Sungai Mas, Majapahit itukah yang dimaksud Sdr Herman Sinung Janutama? Kita kemudian juga mencatat, Majapahit berada di Situs Trowulan yang diduga Hayam Wuruk bertakhta di sana. Zaman istana Tatag Rambat Bale Manguntur itukah yang disebut sebagai Kasultanan Majapahit?
Kita semua harus menghormati teori baru yang
dilontarkan Sdr Herman Sinung itu, namun lagi-lagi dibutuhkan prasasti atau
dara primer supaya ia sah disebut sebagai penemu Kasultanan Majapahit.
Di Gresik, saya mendatangi dan melihat
langsung makam Islam tertua di Indonesia, atas nama Fatimah Binti Maimun Bin
Hibatullah bertarikh 1082, bayangkan, perang Ganter yang menjadi akhir Kediri
saja tahun 1222. Itu berarti jauh sebelum Majapahit Islam sudah masuk
Nusantara. Fakta itu membuktikan, agama Islam dikenal di zaman Majapahit. Namun
fakta itu tidaklah membuktikan dengan sendirinya Majapahit adalah negara Islam.
Bahwa Desa wernana mencatat hukum tripaksa yang mengatur
penyebaran agama, di mana untuk wilayah tertentu hanya boleh ditinggali pemeluk
Hindu dan wilayah tertentu boleh ditinggali umat Budha dan mana yang boleh
ditinggali keduanya sama sekali tidak menyebut Islam, hal itu membuktikan teori
Herman Sinung Janutama itu lemah. Harap diingat, Desa wernana itu ditulis oleh
Dang Acarya Nadendra (bernama lain Pancaksara, Prapanca) yang hidup sezaman
dengan Sang Mahamantrimukya Rakrian Mapatih Pu Mada (bukan ... Mapatih Gaj
Ahmada).
Apa kata Herman Sinung itu baru bisa dinalar
jika Majapahit yang dimaksud adalah Majapahit akhir. Jika Majapahit era Hayam
Wuruk adalah kasultanan Islam, tentulah tidak akan ada Bajangratu, tidak akan
ada catatan tentang Gayatri menjadi seorang biksuni bergelar Rajapadni. Tidak
akan ada catatan tentang Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani yang juga menjadi
biksuni setelah tahta diwariskan ke anaknya.
Dalam novel saya Gajahmada Hamukti Muksa, saya menulis
mantan Mahapatih Gajahmada termangu oleh suara adzan, itu adalah cara saya
menunjukkan Islam sudah ada di Majapahit. Kalau hanya karena ditemukan koin emas
bertulis Arab, harap kita ingat yang yang beredar saat itu tidak hanya koin
Arab akan tetapi juga koin Cina.
Nah, sekarang soal teori baru, nama “Gaj
Ahmada,” yang meminggirkan kata Gajah di depannya. Mari kita hormati siapa pun
yang menggelindingkan pendapat itu, siapa pun yang melontarkannya tetap sah.
Anda boleh kok menyebut nama asli Gajahmada itu Langit Kresna Membreg. Akan
tetapi harusnya dilengkapi bukti.
Nama Gajah dianggap salah, nama-nama yang saya
sebut ini semuanya ada dalam catatan sejarah bukan nama fiktif buatan saya.
Mahisa Wong Ateleng (Singasari), Lembu Anabrang (akhir Singasari), Gajah Enggon
(pengganti Gajahmada), Gajah Pagon (awal masa Majapahit) Gagak Rimang (nama
kuda Harya Penangsang, akhir Kasultanan Pajang) Kebo Mundarang (patih Kediri,
akhir Singasari) Lembusora (nama lain Andakasora, Majapahit awal) Mahisa
Cempaka (Singasari) Kebo Kanigara (awal berdiri Pajang), Hayam Wuruk (raja
Majapahit). Nama-nama hewan macam itu lazim digunakan di zaman dulu, bukanlah
nama yang aneh. Menganggap nama “Gajah” yang menyatu dengan “Mada” sebagai
sebuah kesalahan saya curiga sebagai sebuah pemaksaan yang berlatar ideologi
dan atau agama.
Nama Gajahmada setidaknya ada banyak disebut
berulangkali dan tercatat di kitab atau kakawin yang berbeda-beda. Desa Wernana
menulis dengan jelas dan tegas, Gajahmada bukan tertulis Gaj Ahmada. Pun
demikian tercatat di Pararaton, Kidung Sunda dan Kidung Sundayana. Di luar
kakawin dan Serat itu saya belum pernah mendengar nama Gaj Ahmada.
Pertanyaannya sekarang, yang berpendapat seperti itu, sejarawan bukan?
Pertanyaannya sekarang, yang berpendapat seperti itu, sejarawan bukan?
Kalau
ahli gothak gathik gathuk, ya saya mohon maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar