(Indikasi) peseteruan
KPK dengan mayoritas Fraksi DPR-RI, mengingatkan saya dengan bulan Oktober
2011. Masih segar dalam ingatan, bahkan bisa dijemput melalui youtube, tontonan
Indonesia Lawyer Club bulan Oktober 2011. Penasehat KPK yang juga sekaligus
Ketua Komite Etik KPK, Abdullah Hehamahua, di"sudutkan" dalam taraf
yang menurut saya, tak beretika.
Pada acara yang
digawangi wartawan fenomenal Karni Ilyas (TVOne) ini, lawyer Nazaruddin, Otto
Cornelis (OC) Kaligis "menghantam" Abdullah Hehamahua. "Malaikat
munafik" itu gelar yang diberikan pengacara kondang ini pada mantan Ketua
HMI tersebut. Dengan intonasi suara (via telpon) penuh dendam dan kemarahan,
Kaligis menghujat Hehamahua sebagai manusia
pembohong yang tidak layak untuk dipercayai. Lucunya, tak ada pembelaan berarti
dari anggota-anggota DPR serta pengamat hukum serta budayawan yang hadir pada
malam itu.
Justru, sebilah
"badik" yang diberikan oleh mahasiswa kepada Abdullah Hehamahua agar
tetap tegar melawan koruptor, bahkan secara spesifik mahasiswa (Makassar)
tersebut mengatakan : "kami serahkan badik ini pada pak Abdullah, jangan
takut melawan Kaligis".
Entah karena usia sudah
mulai menua, atau memang penguasaan emosi-nya yang stabil, Abdullah tidak
begitu responsif-marah menanggapi statement Kaligis dan beberapa pengamat pada
malam itu yang terkesan tendensius ingin "membonsai" tupoksi KPK,
untuk tidak mengatakan ingin membubarkan KPK.
Bagi saya, ketenangan
Abdullah Hehamahua pada malam itu, menunjukkan kualitasnya. Ia tak mau terbawa
arus perdebatan yang tak substantif. Ia ingin dianggap waras. Beda dengan
Kaligis (terutama menurut saya) pada malam itu terkesan "sasak
angok". Kejadian malam itu (kembali) mengingatkan kita pada rapat
konsultasi antara pimpinan DPR dan penegak hukum beberapa hari sebelum macara
ILC yang berakhir antiklimaks tersebut.
Setelah dibiarkan
berlangsung suka-suka, rapat berakhir mengambang, tanpa ada kesimpulan.
Berlangsung suka-suka karena dalam rapat yang digelar menurut editorial Media
Indonesia (tanggal 4/10/2011), DPR seenak udel menguliti, bahkan mengata-ngatai
KPK sebagai teroris baru. Yang terjadi bukan rapat konsultasi, melainkan
penghakiman, bahkan penghinaan, terhadap KPK. Substansi rapat yang seharusnya
membahas soal penyamaan persepsi terkait dengan pemeriksaan pimpinan Badan
Anggaran DPR melebar jauh hingga usul pembubaran KPK. Ada anggota DPR bahkan
yang menggurui KPK perihal hukum dengan nada memarahi.
Rapat tanggal 4 Oktober
2011 yang berlangsung hampir 2 jam itu dihadiri seluruh pemimpin DPR, pemimpin
Komisi III DPR, dan pemimpin fraksi-fraksi DPR, serta Kapolri Jenderal Timur
Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, dan empat komisioner KPK kecuali Bibit
Samad Rianto.
Dalam rapat yang
dipimpin Ketua DPR Marzuki Alie itu, pimpinan Komisi III DPR yang menjadi mitra
kerja KPK justru menghujani Ketua KPK Busyro Muqoddas dan jajarannya dengan
serangan bertubi-tubi. Kapolri dan Jaksa Agung hanya menjadi penonton. Serangan
pimpinan komisi hukum dalam rapat terbuka itu pada hakikatnya merupakan
intervensi atas penegakan hukum yang sedang dilakukan KPK. Ketua Komisi III DPR
Benny K Harman, misalnya, menyebut KPK sebagai teroris baru bagi anggota DPR.
Menurut politikus
Partai Demokrat tersebut, akibat sikap KPK, anggota dewan tidak tenang
menjalankan tugas. Ya .... tak tenag menjalankan tugas ... keh keh keh.
Semoga ada mahasiswa,
kelak yang akan memberikan "badik" serta "rencong" kepada
KPK dan berpesan : "lawan !".
Muhammad Ilham Fadli
Referensi :
(editorial) Media
Indonesia/4-10-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar