Post Top Ad

Post Top Ad

Sabtu, 03 Juni 2017

Hizbut Tahrir Indonesia ?

berita77.com
Karl Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme.

Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis. 

Tetapi tulisan hebat itu baru menjadi inspirasi untuk lahirnya perubahan setelah terjadi Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan Revolusi Oktober yang dilakukan oleh pihak komunis Rusia, di bawah pimpinan Lenin.

Apa artinya bagi kita sejarah Komunis itu? Bahwa pemikiran hebat tidak harus diselesaikan pada zaman ketika pemikiran itu muncul. Menulis adalah kata kunci agar andai tidak bisa dilakukan sendiri maka akan ada orang lain yang akan mentunaiknya. Makanya pemikiran yang sehat dasarnya adalah niat baik, dan tak peduli kapan ide dan pemikiran itu akan sampai menjadi sebuah inspirasi bagi orang lain.

Khilafah lahir dari itjihad ulama dari beberapa abad yang lalu. Konsep khilafah telah dibukukan begitu luasnya dari generasi ke generasi. Namun sejak pemikiran khilafah itu didengungkan, sampai kini konsep itu belum bisa membuktikan idealisme nya bisa diterapkan untuk sebuah negara.

 Bahkan belum bisa melahirkan sebuah revolusi hebat seperti Revolusi Bolshevik , yang gaungnya keseluruh dunia dan menjadi inspirasi bagi kaum pergerakan di seluruh dunia untuk lepas dari kolonialisme.

Apa sebab? Karena khilafah dimaknai sebagai sebuah gerakan internationalisasi , bukan sebagai konsep yang bisa menginspirasi orang untuk bergerak. Tulisan Karl Max setelah ia wafat lebih banyak dibahas dalam konteks akademis dari kaum terpelajar. Tidak pernah dibahas ditingkat rakyat tidak terdidik. Dari proses inilah lahir generasi tercerahkan lewat komunisme. 

Memang tidak banyak kaum terpelar yang terinspirasi akan komunisme, namun energi kaum terpelajar ini bagaikan maknit luar biasa yang mampu menarik jutaan rakyat jelata dalam satu barisan sehingga terjadilah revolusi.

HT, harus menggunakan cara cara seperti ini melalui program pencerahan lewat kaum terpelajar, tidak melalui rapat provokasi agitasi dan kolosal tapi lewat panggung akademis. Aktif terlibat menerbitkan beragam buku dari segala aspek kehidupan. Proses ini harus dilalui dengan sabar dan biarlah kehendak Allah yang akan menentukan kapan konsep khilafah ini dapat menjadi inspirasi orang untuk berubah.

Kalau HT tidak sabar dan ingin segera mewujudkan impiannya maka jalan yang paling bijak adalah lewat revolusi parlemen atau revolusi konstitusional. Caranya ? HT harus mau bermetamorfosa menjadi Partai Politik. Setelah itu, gerakan HT akan di legitmasi oleh UU untuk menebarkan paham khiafahnya. Dan nanti waktu Pemilu, HT harus membuktikan konsep khilafah nya diterima oleh lebih separuh rakyat Indonesia, Dengan demikian Parlemen dua pertiga dikuasai HT.

Tentu perubahan idiologi dan UUD dapat di laksanakan sesuai dengan agenda Khilafah nya HT. Tapi kalau gagal tentu harus menerima kenyataan bahwa khilafah memang belum bisa menggantikan Pancasila. BUkan karena khilafah tidak bagus tapi karena rakyat kebanyakan belum bisa menerima. Tapi kalau HT tetap sebagai ormas dengan mengusung progam khilafah maka walau bagaimanapun HT mengatakan tidak berpolitik dan tidak anti pancasila namun cara cara mengusung khilafah yang dilakukan diluar parlement adalah inskonstitusional.

Apalagi dengan keterlibatan HT dalam aksi bela islam kasus Ahok maka ini semakin memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk membubarkan HT. Andaikan ..andaikan HT tetap tidak terlibat dalam politik praktis lewat aksi extraparlementer tentu program pencerahan HT yang sudah berjalan selama ini tidak akan mendapatkan hambatan. Tapi semua sudah terjadi. Suka tidak suka, publik dan pemerintah sudah punya persepsi bahwa HT engga punya dampak positip bagi pembangunan nasional....Itulah harga yang harus dibayar..

Pelajaran era Khalifah empat...
Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, sebetulnya, periode itu “zaman biasa”.Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak memalukan.”

Contoh yang paling tajam ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak.
Mereka tak sekadar membunuh Usman. 

Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. 

Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga.

Mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu.

Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan. Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”), orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu.
Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. “Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,” .

Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman–lalu membunuhnya, lalu menistanya. Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan.

Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.

Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar. Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”.

Di mimbar ia mengaum, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke kuburan. Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi….

Islam ketika digunakan sebagai kendaraan politik maka dia kehilangan nilai rahmatan lilalamin. Islam semacam itu hanya menebarkan fitnah, kebencian, pembunuhan, kerakusan, pembodohan, tak ubahnya dengan idiologi lainnya.. Karena sebetulnya mereka tidak menyiarkan islam tapi mereka merusak islam itu sendiri demi kekuasaan dan akses kepada harta. Kepada Allah kita berserah diri, karena hanya Allah yang bisa menjaga Islam itu rahmat bagi semua.


Dan biarlah waktu yang akan menilai nanti... Kita hanya tahu islam itu seperti yang diajarkan Rasul, sebagaimana Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, mencintai yang lembut di dalam seluruh perkara". (HR. Bukhari.) Yang tidak lembut, itu bukan islam. Mereka hanya memanfaatkan islam untuk kepentingan pribadinya.

Grup fb Diskusi dengan Babo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar