Pada akhirnya tidak begitu...
Dia punya dua putra, usia mereka terpaut hanya 2 tahun. Dengan latar belakang orang terdidik baik tentu dia berharap anak anaknya dapat tumbuh lebih baik dari dia. Dan berharap kelak masa tuanya punya dua tongkat menopang hidupnya. Putra tertua, dari sejak tamat SD dia masukan ke Pondok Pesatren.
Berharap menjadi anak yang kaya pengetahuan agama dan tahu bagaimana harus berakhlak yang baik. Putra tertuanya memang lebih cerdas dibandingkan putra bungsunya. Sementara sibungsu setamat SD di masukan sekolah umum. Berjalannya waktu, putra tertua sampai tamat program 9 tahun pendidikan di Ponpes. Dan sibungsu masih harus menyelesaikan kuliahnya sampai jadi sarjana.
Apa yang terjadi kemudian?. Putra tertua setamat ponpes, bekerja sebagai guru mengaji dari rumah kerumah. Si bungsu setamat kuliah sempat menganggur dua tahun, yang akhirnya di terima bekerja sebagai PNS. Istrinya telah meninggal sebelum melihat kedua putranya menyelesaikan pendidikan. Di usia senja diatas 70 tahun. Dia hidup seakan sebatang kara di Jakata, dan miskin. Putra tertuanya tidak bisa menbantu dirinya, bahkan untuk menolong diri sendiri saja kadang sulit. Putra bungsunya , tinggal di daerah namun tidak peduli dengan dirinya. Putra bungsunya lebih sibuk menguruh anak dan istrinya. Demikian ceritanya ketika bertemu dengan saya. Di masa tuanya dia ingin menghabiskan sisa usianya di desa. Berharap dengan harta ala kadarnya yang ada di kampung dia bisa bertahan hidup.
"Apa yang salah dari saya ? tanyanya kepada saya. Saya terdiam sambil menatap wajah tuanya yang nampak muram. Saya kehilangan kata kata untuk mengatakan sebenarnya. Namun dia bersikeras untuk saya memberikan pendapat. Setidaknya bisa jadi penguat intropeksi dirinya. Saya katakan bahwa anak anak bukanlah milik kita tapi milik Tuhan. Kita hanya kebagian titipan dari Tuhan. Hanya itu. Tapi kadang kita tidak sadar akan itu. Kita selalu punya rencana tentang hidup anak agar dia bisa lebih baik dari kita. Tapi jalannya kita yang tentukan. Berharap anak tamat ponpes akan jadi anak yang sholeh tapi nyatanya tidak bisa mandiri, apalagi berguna bagi orang lain. Berharap anak jadi sarjana dan PNS agar bisa berkarir hebat tapi dia tidak punya empati kepada orang tua, apalagi kepada orang lain. Ini kesalahan fatal. Seakan kita ingin menjadi Tuhan atas takdir anak anak. Hasilnya umumnya adalah paradox. Mereka tidak menjadi dirinya sendiri dan kita kehilangan anak manusia yang Tuhan titipkan kepada kita.
Jadi bagaimana seharusnya ? Kita hanya bertanggung jawab untuk mendidik akhlak kepada anak anak. Dan itu bukan dengan retorika tapi dengan keteladanan dan menciptakan lingkungan cinta serta demokratis di rumah.. Dari akhlak yang baik akan terbentuk mental yang sehat untuk dia bisa bersikap dan menentukan jalan hidup yang dia suka, yang dia nyaman. Apapun itu pilihan anak , kita hanya bisa mendukungnya. Anak akan melewati takdirnya dengan segala goncangan, dan tugas kita hanya mendoakannya. Saya ingin putra saya jadi insinyur tapi dia lebih memilih jadi ekonom. Saya terima itu tanpa ada kesan saya kecewa. Saya ingin putri saya sekolah Agama agar bisa jadi ustadzah tapi dia lebih memilih jadi dokter. Saya terima itu dengan doa. Saya yakin apapun pilhan mereka selagi akhlak baik maka mereka akan bisa melewati hidup yang tidak ramah , untuk menjadikan dirinya berguna bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar