Bagaimana akan sampai ke sebuah rumah, apalagi menjumpai penghuni di dalamnya, bila kita enggan menyapa batu-batu sepanjang jalan ke rumah itu, atau enggan menghirup udara yang datang dari napas pepohonan sepanjang jalan menuju rumah itu.
Ketika membenci semak-semak di tengah hutan, ketika membenci rimbun dedaunan yang menghalangi terang, atau gelisah pada ulat-ulat di pucuk-pucuk daun sepanjang jalan, bagaimana akan berani melangkah mendekati rumah itu?
Di sana ada daun-daun kering berserakan, selain bunga-bunga harum aneka warna. Di sana ada kijang dan rusa berbulu emas, juga surai-surai lebat dan seringai taring singa tersenyum garang.
Ada rasa nyaman dan kegelisahan di jalanan yang sama.
Dan rumahNya adalah rumah yang sepanjang jalannya juga dipenuhi dualitas. Dipenuhi rasa yang mungkin membuat batin nyaman dan tak nyaman.
Lali di titik mana akan berbalik arah oleh kecemasan dan penolakan? Di titik mana akan berhenti sejenak untuk mengamati segala dualitas sepanjang jalan, lalu melangkah kembali dengan tegar?
Rumah Tuhan tak akan berubah. Masih di sana, masih di sini, masih di mana-mana. Dan masih penuh dualitas di mana-mana.
Tapi masihkah berani melangkah mendekatinya? Memasuki lapis demi lapis dualitas tanpa penolakan pada duri-duri di tiap tangkai bunga mawar?
Ah, terasa ragu akan sampai di rumahNya, bila masih ada orang-orang buruk harus disapa, ketika ada orang-orang culas harus diberi senyum dari bibir yang sama.
Jadi, masihkah sungguh berhasrat datang ke rumahNya?
(W.Mustika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar