Malala Yousafzai, namanya, gadis kecil dari Lembah Swat (Pakistan) yang berusaha melawan diskriminasi dan kekejaman kelompok Taliban yang mengatasnamakan kekuasaan berbasis hukum syariah terhadap hak-hak anak perempuan.
Malala tidak melawan dengan fisik tapi dengan pemikiran, dengan tulisan dan tulisan. Dia hanya memperjuangkan hak-hak anak perempuan untuk bisa sekolah.
Di sana, waktu mereka menduduki sebagian Pakistan, dimulai era dimana anak perempuan dipaksa tidak boleh sekolah, dimana televisi dan radio dihancurkan, dimana yang mencukur jenggot juga dihukum.
Bagi Taliban tidak ada hak bagi perempuan. Perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan nasibnya, tidak boleh menyuarakan pemikirannya, harus tunduk pada kaum pria, jika keluar walaupun berbelanja harus didampingi mahramnya, wajib memakai burqa dan tidak ada hak mengenyam pendidikan. Ratusan sekolah telah dihancurkan.
Tulisan Malala yang menyebar di BBC Urdu tentang kehidupan diskriminasi perempuan saat pendudukan Taliban membuat Taliban marah.
9 Oktober 2012 lalu beberapa pasukan Taliban bersenjata menghadang Malala yang pulang dari sekolah ayahnya, lalu menembakkan dua butir peluru mengenai kepala dekat mata sebelah kiri dan lehernya.
Segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah dioperasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di kepalanya, dan beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit militer di Peshawar, Pakistan, dia diterbangkan ke Inggris, untuk menjalani operasi dan perawatan intensif yang jauh lebih baik di Rumah Sakit Queen Elizabeth, di Birmingham. Setelah nyawanya berhasil diselamatkan oleh tim dokter rumah sakit itu, mereka juga melakukan bedah syaraf di wajah Malala, agar wajahnya bisa dikembalikan sesempurna mungkin. Total sekitar 6 bulan Malala harus berada di rumah sakit itu untuk menjalani beberapakali operasi dan perawatan pemulihan.
Pimpinan Taliban Pakistan, Adnan Rasheed, mengirim surat kepada Malala, menjelaskan bahwa dia hendak dibunuh bukan karena sebagai seorang penggiat pendidikan anak perempuan, tetapi karena sikapnya yang terlalu kritis terhadap Taliban. Rasheed menawarkan agar Malala mau kembali ke Pakistan untuk melanjutkan sekolahnya dengan aman, asalkan menuruti aturan-aturan yang telah ditetapkan Taliban, antara lain kewajiban memakai burqa. Malala tidak menjawab surat itu, meskipun banyak orang yang menyarankan untuk menjawabnya.
Alasan Malala, karena dia merasa haknya untuk sekolah bukan tergantung dari Taliban, tetapi memang sudah menjadi haknya sebagai seorang manusia ciptaan Allah.
Pada 12 Juli 2013, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Malala berpidato di Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, di New York, Amerika Serikat. Inti pidatonya berbicara mengenai hak-hak (anak) perempuan untuk bersekolah, perlawanan terhadap terorisme dan kebodohan. Salah satu kalimatnya yang terkenal adalah, dengan “satu anak, satu guru, satu buku, satu pena, bisa mengubah dunia.”
Selesai pidato semua orang, termasuk PBB menetapkan tanggal 12 Juli sebagai “Hari Malala,” untuk memperingati hari hak-hak perempuan memperoleh pendidikan yang sama dengan siapa pun.
(Bersambung).
---
Dari berbagai sumber.
---
Dari berbagai sumber.
18 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar