Pada tahun 1960-an, di bawah
demokrasi terpimpin, yang berbeda paham dengan penguasa disebut
kontra-revolusioner. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang
atau diganyang. Pada tahun 1970-an, di bawah Orde Baru, PKI dan G30S atau
Gestapu dipakai. Dengan kata itu, siapapun bisa kelar hidup dan karirnya.
Acap kali
mereka dipenjarakan dan dibunuh, tanpa bekas. Seperti pada masa sebelumnya,
sebutan PKI dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media massa, yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan
teror dan ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma. Setelah demokrasi
terpimpin runtuh, Islam masih merupakan stigma yang berlanjut.
Ketika terjadi chaos Malari 1974 , Soeharto menggunakan
media untuk menuduh bahwa yang jadi dalang kekerasan itu Masyumi. Dakwaan
terhadap Masyumi, yang sudah dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikumandangkan
lagi.
Agaknya kini pun
orang sedang memproduksi dan mengawetkan stigma sendiri: ‘neoliberal’,
‘liberal’, ‘sekuler’, Kafir, Komunis dan dengan itu diskusi akal sehat menjadi
mustahil. Mungkin mereka tidak pernah membaca buku bapak komunis Karl Max, Das
Kapital. Mungkin mereka tidak pernah baca buku bapak kapitalis Adam Smith
"The Theory of Moral Sentiments" (1759) and "An Inquiry into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations.
Mungkin mereka tidak pernah baca buku
Capitalism and freedom yang ditulis bapak Neoliberal abad 21, Milton Friedman.
Atau membaca buku Secular age dari Charles Taylor. Atau mendalam iIhya
Ulumuddin atau Al-Ihya , Al Ghazali. Apa arti Agama, komunis, kapitalis, neoliberal?
Tak penting lagi dikaji. Tak mengherankan jika paranoia masih mencengkam untuk
saling belenggu.
Stabilitas
yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng dengan berlanjutnya politik
sebagai ajang kebencian dan intoleransi. Bahasa adalah arus yang tak
henti-hentinya memelesetkan makna, dan orang memerlukan apa yang disebut
psikoanalisis Lacan point de capiton agar ada pegangan, biarpun sementara,
untuk mematok makna kata. Tapi point de capiton itu bisa membelenggu bukan
hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri. Pada saat itulah bermula kecurigaan
jadi rumus, kebencian jadi doktrin. Kita hanya bisa membebaskan diri dari
belengguitu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melumpuhkan
semuanya.
Itulah
sebabnya kini pemerintah Jokowi tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu.
Tidak menghadapi mereka yang berbeda dengan stigma komunis, islam radikal tapi
mereka disebut "tersangka" melanggar hukum dan kelak kalau terbukti
oleh pengadilan disebut "terpidana". Siapapun mereka, termasuk ulama,
kalau terbukti salah oleh pengadilan maka dia hanyalah kriminal. Ini tidak ada
urusannya dengan politik dan agama. ini semata agar hukum menjadi panglima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar