Post Top Ad

Post Top Ad

Senin, 01 Mei 2017

Stigma...

Pada tahun 1960-an, di bawah demokrasi terpimpin, yang berbeda paham dengan penguasa disebut kontra-revolusioner. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau diganyang. Pada tahun 1970-an, di bawah Orde Baru, PKI dan G30S atau Gestapu dipakai. Dengan kata itu, siapapun bisa kelar hidup dan karirnya.

Acap kali mereka dipenjarakan dan dibunuh, tanpa bekas. Seperti pada masa sebelumnya, sebutan PKI dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media massa, yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma. Setelah demokrasi terpimpin runtuh, Islam masih merupakan stigma yang berlanjut.

Ketika terjadi chaos Malari 1974 , Soeharto menggunakan media untuk menuduh bahwa yang jadi dalang kekerasan itu Masyumi. Dakwaan terhadap Masyumi, yang sudah dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikumandangkan lagi.

Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan mengawetkan stigma sendiri: ‘neoliberal’, ‘liberal’, ‘sekuler’, Kafir, Komunis dan dengan itu diskusi akal sehat menjadi mustahil. Mungkin mereka tidak pernah membaca buku bapak komunis Karl Max, Das Kapital. Mungkin mereka tidak pernah baca buku bapak kapitalis Adam Smith "The Theory of Moral Sentiments" (1759) and "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations.

 Mungkin mereka tidak pernah baca buku Capitalism and freedom yang ditulis bapak Neoliberal abad 21, Milton Friedman. Atau membaca buku Secular age dari Charles Taylor. Atau mendalam iIhya Ulumuddin atau Al-Ihya , Al Ghazali. Apa arti Agama, komunis, kapitalis, neoliberal? Tak penting lagi dikaji. Tak mengherankan jika paranoia masih mencengkam untuk saling belenggu.

Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng dengan berlanjutnya politik sebagai ajang kebencian dan intoleransi. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya memelesetkan makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis Lacan point de capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, untuk mematok makna kata. Tapi point de capiton itu bisa membelenggu bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri. Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian jadi doktrin. Kita hanya bisa membebaskan diri dari belengguitu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melumpuhkan semuanya.

Itulah sebabnya kini pemerintah Jokowi tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu. Tidak menghadapi mereka yang berbeda dengan stigma komunis, islam radikal tapi mereka disebut "tersangka" melanggar hukum dan kelak kalau terbukti oleh pengadilan disebut "terpidana". Siapapun mereka, termasuk ulama, kalau terbukti salah oleh pengadilan maka dia hanyalah kriminal. Ini tidak ada urusannya dengan politik dan agama. ini semata agar hukum menjadi panglima.
Erizeli Jely Bandaro


Tidak ada komentar:

Posting Komentar